27.7 C
Tarakan
Saturday, September 23, 2023

Potret ‘Susu Tante’

Catatan
Oleh: H. Rachmat Rolau
Wartawan Senior

BELUM lama ini, saya membaca unggahan kawan saya, Drs. Mansur Basari, di Facebook. Beliau pensiunan Polri. Pernah dinas di Polda Kaltim, 1990-an. Unggahannya tentang pungutan liar (pungli) oleh kalangan oknum penegak hukum. Belakangan, isu pungli kembali ramai jadi perbincangan di media sosial (medsos).

Saya iseng menanggapi via statusnya. Saya bilang, pungli itu istilah lama. Saat saya masih duduk di bangku akhir sekolah tahun 1979, guru kami yang membidangi ilmu antropologi budaya tiba-tiba bilang begini, istilah pungli itu terlalu kasar untuk didengar. Entah apa korelasinya dengan pelajaran antropologi budaya ketika itu, saya lupa. Tapi yang pasti, oleh guru kami, pungli diganti menjadi ‘susu tante’ -akronim dari sumbangan sukarela tanpa tekanan. Kalau susu tante ini dipahami secara luas, sepertinya memang lebih pas dibanding istilah pungli. Sebab, pungli sesungguhnya tidak liar. Pungli ada di sekitar kita. Pungli bisa terjadi di semua transaksi sosial dan ekonomi.

Pungli memang terkesan tidak terlalu besar. Meski pun, hasil pungli bisa jauh lebih besar dari yang terlintas di pikiran banyak orang. Ada banyak objek pungli. Pungli di level terkecil ada di tempat parkir dan pasar. Ini biasanya dilakukan pribadi-pribadi tanpa pihak lain. Pungli juga bisa terjadi di lembaga penegakan hukum, pemerintahan, pelabuhan dan perusahaan.

Di lembaga penegakan hukum, oknum biasanya bermain pada perkara perdata. Seperti sengketa lahan yang nilainya sampai miliaran rupiah. Pun dengan kasus-kasus pidana. Aturan main di wilayah ini tidak seterbuka dengan pungli di tempat parkir. Caranya lebih tertutup, sehingga tidak terlalu identik dengan susu tante. Tetapi, di balik itu, ada ketentuan nominal yang telah disepakati antara oknum penegak hukum dengan pencari keadilan.

Baca Juga :  Kesehatan Terjaga, Ekonomi Harus Tetap Jalan 

Tata kelola pemerintahan yang menganut asas transparansi, itu setiap pungutan harus disertai bukti. Namun, masyarakat yang sering berurusan dengan perizinan (misalnya), tak jarang mengalami kesulitan meski secara prosedur dan administrasi berkasnya sudah lengkap. Ada saja alasannya. Alasan-alasan itu sangat sepele bahkan bisa ditolerir.
Terhadap urusan izin, saya punya cerita begini: waktu itu, sebuah pengusahaan melalui direkturnya menelepon saya. Ia meminta saya agar membantu mengurus izinnya yang sudah lama belum selesai. Padahal, secara prosedural, aturan dan prosedur yang dipersyaratkan pemerintah sudah dipenuhi perusahaan baik secara administrasi maupun data.

Kepada manajemen perusahaan itu saya katakan, tidak perlu saya datang. Cukup Anda sendiri ke kantor perizinan. Jangan lupa bawa ‘sesuatu’ sebagai tanda ucapan terimakasih. Apakah saran saya efektif, saya tidak tahu. Sebab, setelah itu pihak perusahaan tidak menelepon lagi.

“Ini Indonesia. Budaya punglinya masih mengakar,” kata saya, menjawab setiap keluhan teman-teman yang mengeluh akibat pungutan ini dan itu. Di pelabuhan, juga tidak terbebas dari terpaan isu pungli. Di tempat ini pungli kadang terjadi pada biaya bongkar-muat barang. Jika pungutan terjadi pada barang dan jasa, biasanya berimbas pada naiknya harga barang dari para pedagang ke konsumen.

Baca Juga :  Rakmat Minta Arief Legawa, Ungkap Sudah Berkoordinasi Soal PAW di DPRD Kaltara

Seorang pengusaha mengaku terpaksa menaikkan sedikit harga berasnya lantaran mahalnya biaya angkut dan bongkar-muat dari pelabuhan ke gudang. Memang tidak menyebutkan apakah yang dimaksud itu pungli, atau memang biaya resmi yang ditetapkan pemerintah.

Sementara di perusahaan-perusahaan patikelir, pungli memang jarang terdengar. Hanya, bukan berarti tidak ada pungli di sana. Di perusahaan swasta, pungli biasanya bukan dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawannya melainkan oknum dari luar perusahaan.
Pungutan liar di objek ini nyaris tidak terdeteksi oleh masyarakat. Karena oknum biasanya bermain level pemilik. Mereka biasanya meminta jatah. Entah karena alasan apa. Dulu, di era tahun 90-an beberapa perusahaan kayu memberi oknum jatah dalam bentuk komisi atau fee.

Misalnya, 1 ton batu-bara oknum menerima sekian dolar. Atau 1 meter kubik kayu, jatah oknum sekian. Istilah kerennya, uang keamanan. Di tempat hiburan juga sama. Pengelola tempat hiburan yang usahanya nyaris tidak sempurnah secara aturan, itu menjadi lahan subur bagi oknum untuk meminta jatah secara rutin.

Bahwa semua yang diuraikan di atas merupakan isu-isu hangat yang lagi ramai dipercakapkan di media sosial sebagai bagian dari “potret susu tante”. Nah, untuk meng-enyahkan potret susu tante, dibutuhkan komitmen serius dari para pelaksana aturan hukum (law enforcement) untuk memberantas perilaku oknum. (*/lim)

Catatan
Oleh: H. Rachmat Rolau
Wartawan Senior

BELUM lama ini, saya membaca unggahan kawan saya, Drs. Mansur Basari, di Facebook. Beliau pensiunan Polri. Pernah dinas di Polda Kaltim, 1990-an. Unggahannya tentang pungutan liar (pungli) oleh kalangan oknum penegak hukum. Belakangan, isu pungli kembali ramai jadi perbincangan di media sosial (medsos).

Saya iseng menanggapi via statusnya. Saya bilang, pungli itu istilah lama. Saat saya masih duduk di bangku akhir sekolah tahun 1979, guru kami yang membidangi ilmu antropologi budaya tiba-tiba bilang begini, istilah pungli itu terlalu kasar untuk didengar. Entah apa korelasinya dengan pelajaran antropologi budaya ketika itu, saya lupa. Tapi yang pasti, oleh guru kami, pungli diganti menjadi ‘susu tante’ -akronim dari sumbangan sukarela tanpa tekanan. Kalau susu tante ini dipahami secara luas, sepertinya memang lebih pas dibanding istilah pungli. Sebab, pungli sesungguhnya tidak liar. Pungli ada di sekitar kita. Pungli bisa terjadi di semua transaksi sosial dan ekonomi.

Pungli memang terkesan tidak terlalu besar. Meski pun, hasil pungli bisa jauh lebih besar dari yang terlintas di pikiran banyak orang. Ada banyak objek pungli. Pungli di level terkecil ada di tempat parkir dan pasar. Ini biasanya dilakukan pribadi-pribadi tanpa pihak lain. Pungli juga bisa terjadi di lembaga penegakan hukum, pemerintahan, pelabuhan dan perusahaan.

Di lembaga penegakan hukum, oknum biasanya bermain pada perkara perdata. Seperti sengketa lahan yang nilainya sampai miliaran rupiah. Pun dengan kasus-kasus pidana. Aturan main di wilayah ini tidak seterbuka dengan pungli di tempat parkir. Caranya lebih tertutup, sehingga tidak terlalu identik dengan susu tante. Tetapi, di balik itu, ada ketentuan nominal yang telah disepakati antara oknum penegak hukum dengan pencari keadilan.

Baca Juga :  Menerobos Ketidakpastian

Tata kelola pemerintahan yang menganut asas transparansi, itu setiap pungutan harus disertai bukti. Namun, masyarakat yang sering berurusan dengan perizinan (misalnya), tak jarang mengalami kesulitan meski secara prosedur dan administrasi berkasnya sudah lengkap. Ada saja alasannya. Alasan-alasan itu sangat sepele bahkan bisa ditolerir.
Terhadap urusan izin, saya punya cerita begini: waktu itu, sebuah pengusahaan melalui direkturnya menelepon saya. Ia meminta saya agar membantu mengurus izinnya yang sudah lama belum selesai. Padahal, secara prosedural, aturan dan prosedur yang dipersyaratkan pemerintah sudah dipenuhi perusahaan baik secara administrasi maupun data.

Kepada manajemen perusahaan itu saya katakan, tidak perlu saya datang. Cukup Anda sendiri ke kantor perizinan. Jangan lupa bawa ‘sesuatu’ sebagai tanda ucapan terimakasih. Apakah saran saya efektif, saya tidak tahu. Sebab, setelah itu pihak perusahaan tidak menelepon lagi.

“Ini Indonesia. Budaya punglinya masih mengakar,” kata saya, menjawab setiap keluhan teman-teman yang mengeluh akibat pungutan ini dan itu. Di pelabuhan, juga tidak terbebas dari terpaan isu pungli. Di tempat ini pungli kadang terjadi pada biaya bongkar-muat barang. Jika pungutan terjadi pada barang dan jasa, biasanya berimbas pada naiknya harga barang dari para pedagang ke konsumen.

Baca Juga :  Respons Umat terhadap Perintah Puasa

Seorang pengusaha mengaku terpaksa menaikkan sedikit harga berasnya lantaran mahalnya biaya angkut dan bongkar-muat dari pelabuhan ke gudang. Memang tidak menyebutkan apakah yang dimaksud itu pungli, atau memang biaya resmi yang ditetapkan pemerintah.

Sementara di perusahaan-perusahaan patikelir, pungli memang jarang terdengar. Hanya, bukan berarti tidak ada pungli di sana. Di perusahaan swasta, pungli biasanya bukan dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawannya melainkan oknum dari luar perusahaan.
Pungutan liar di objek ini nyaris tidak terdeteksi oleh masyarakat. Karena oknum biasanya bermain level pemilik. Mereka biasanya meminta jatah. Entah karena alasan apa. Dulu, di era tahun 90-an beberapa perusahaan kayu memberi oknum jatah dalam bentuk komisi atau fee.

Misalnya, 1 ton batu-bara oknum menerima sekian dolar. Atau 1 meter kubik kayu, jatah oknum sekian. Istilah kerennya, uang keamanan. Di tempat hiburan juga sama. Pengelola tempat hiburan yang usahanya nyaris tidak sempurnah secara aturan, itu menjadi lahan subur bagi oknum untuk meminta jatah secara rutin.

Bahwa semua yang diuraikan di atas merupakan isu-isu hangat yang lagi ramai dipercakapkan di media sosial sebagai bagian dari “potret susu tante”. Nah, untuk meng-enyahkan potret susu tante, dibutuhkan komitmen serius dari para pelaksana aturan hukum (law enforcement) untuk memberantas perilaku oknum. (*/lim)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/