PERTANYAAN ini selalu muncul di setiap kontestasi pemilihan umum, khususnya legislatif. Dari kalangan wartawan, atau pekerja pers, atau biasa juga kita sebut jurnalis. Lebih spesifik pertanyaan itu menyangkut status kewartawanan seorang jurnalis ketika berniat untuk maju sebagai peserta di pemilihan.
Apakah harus mundur, nonaktif atau bagaimana? Setidaknya, tahun ini ada tiga rekan kami di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bertanya tentang hal ini. Ketiga-tiganya sudah menyampaikan surat kepada pengurus PWI Kalimantan Utara (Kaltara), perihal permohonan penonaktifannya. Sikap ini, perlu kita apresiasi. Secara sadar memandang pers harus profesional dan adil, serta independen.
Dalam hukum ketatanegaraan dan peraturan perundang-undangan, dijelaskan bahwa hak politik warga negara merupakan bagian dari hak-hak yang dimiliki oleh warga negara. Asas kenegaraannya menganut asas demokrasi. Lebih luas hak politik itu merupakan bagian dari hak turut serta dalam pemerintahan.
Bagaimana Dewan Pers memandang ini? 14 Desember 2022 lalu, Dewan Pers menerbitkan Surat Edaran Nomor: 01/SE-DP/XII/2022 tentang Kemerdekaan Pers yang Bertanggung Jawab untuk Pemilu 2024 yang Berkualitas. Edaran ini rasanya cukup, dan tak ada hal yang perlu diperdebatkan.
Di poin pembuka edaran, pers nasional disebut memainkan peran sangat penting dalam kesuksesan pelaksanaan pemilu yang bebas, rahasia, jujur dan adil. Peran tersebut semakin relevan mengingat penyebaran hoaks yang masih masif melalui media sosial dapat menimbulkan masalah serius dalam pelaksanaan Pemilu.
Kehadiran informasi berkualitas tentang pemilu yang disuguhkan oleh pers nasional dapat menjadi pendidikan tentang pemilu bagi publik sekaligus mereduksi efek negatif hoaks. Peran yang demikian besar harus disadari oleh komunitas pers nasional dalam wujud terus menerus berupaya menjaga kemerdekaan pers dengan meningkatkan profesionalisme, menegakkan swa-regulasi dan sikap bertanggung jawab.
Pers nasional harus menjadi wasit yang profesional dan adil. Nilai-nilai moral dan etik wartawan yang terdapat di dalam Kode Etik Jurnalistik harus ditaati. Dalam Pemilu, independensi dan keberimbangan wartawan menjadi isu utama karena masih sering dilanggar. Dewan Pers juga mengingatkan pentingnya komunitas pers menegakkan Kode Etik Jurnalistik sebagai jalan terbaik untuk menjaga kemerdekaan pers dan kepercayaan publik.
Terkait dengan hak politik wartawan, Dewan Pers menghormati pilihan politik setiap wartawan, sebagai bagian dari hak asasi setiap warga negara. Namun, pers nasional harus menjadi wasit yang profesional dan adil serta menegakkan Kode Etik Jurnalistik terutama terkait independensi dan keberimbangan. Karena itu, Dewan Pers kembali mengingatkan kepada wartawan yang menjadi calon kepala daerah, calon anggota legislatif, tim
sukses partai politik atau tim sukses pasangan calon untuk nonaktif atau mengundurkan diri secara tetap sebagai wartawan.
Atmaji Sapto Anggoro, mengatakan sejak 2014 Dewan Pers menerbitkan edaran terkait wartawan yang ingin terlibat dalam kontestasi, entah sebagai peserta, tim sukses partai politik hingga tim sukses pasangan calon.
“Kalau jadi caleg (calon legislatif) harus mundur. Itu secara etika. Cuti atau mundur sementara dalam proses itu. Agar tak memengaruhi independensi medianya. Media jangan hanya jadi corong untuk kekuatan politik tertentu, sehingga bisa independen, integritas dan netralitas,” ujar Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers pada Dewan Pers ini usai mengisi diskusi indeks kemerdekaan pers 2023 Kalimantan Utara di Tarakan, 22 Mei lalu.
Pers itu sangat penting memengaruhi perilaku pemilih, calon pemilih. Dewan Pers juga tidak bisa melarang seseorang maju sebagai caleg, setiap orang punya hak politik, kata dia. Secara etika edaran tersebut memandu agar yang bersangkutan tak aktif sebagai wartawan. Dan juga Dewan Pers meminta agar yang bersangkutan tidak memengaruhi, baik langsung maupun tidak langsung kerja-kerja di ruang redaksi.
Lantas bagaimana dengan kompetensinya sebagai wartawan? Akan tetap melekat. Sebab, yang maju sebagai caleg masih terdapat dua kemungkinan, duduk sebagai anggota legislatif atau gagal. Ketika gagal, ia masih memiliki kesempatan untuk kembali bekerja sebagai wartawan.