TARAKAN – Semakin berkembangnya Kota Tarakan membuat jumlah pertumbuhan penduduk dan pemukiman terus mengalami pertambahan. Sehingga hal tersebut membuat semakin berkurangnya hutan dan mengurangi sumber penampungan air secara alami. Sehingga hal tersebut membuat Kota Tarakan cukup rawan dari ancaman banjir jika terjadi hujan dalam intensitas besar.
Kepala Bidang Perairan dan Pengendalian Banjir sekaligus Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kota Tarakan, Sabudi menerangkan, sejauh ini pemerintah terus berupaya mempercepat penyelesaian beberapa proyek penanganan banjir di Kota Tarakan. Kendati demikian, ia menyadari hal tersebut tentu tidak serta-merta dapat membebaskan Tarakan dari ancaman banjir secara 100 persen.
“Pada prinsipnya, saat ini yang menjadi fokus kami ada perbaikan pengendalian banjir di Karang Anyar, saat ini Karang Anyar proyek paling besar karena di Sebengkok sudah selesai. Kemudian Selimut juga sudah, Karang Balik insyaallah akan selesai. Karang Anyar di Jalan Seroja, insyaallah selesai, namun demikian tidak dapat serta-merta menghilangkan banjir secara total. Artinya berkesinambungan dan ke depan tetap menjadi prioritas kami,” ujarnya, Rabu (30/8).
“Untuk di Tarakan Utara memang saat ini ada beberapa titik terjadi Banjir. Jadi banyak faktor sebenarnya yang bisa mempengaruhi banjir. Pertama ada tata guna lahan. Misalnya yang dulu masih asli, kemudian ada perubahan-perubahan, sehingga ketika hujan, air itu tidak terserap dengan maksimal sehingga menyebabkan debit air semakin besar. Debit yang semakin besar tidak diimbangi dengan saluran yang ada,” sambungnya.
Diungkapkannya, kondisi Tarakan saat ini sangat jauh berbeda dari kondisi Tarakan dahulu. Dikatakannya, sebelum pemukiman dan pembangunan berkembang seperti saat ini, Tarakan memiliki banyak kantong air yang berasal dari hutan. Dengan semakin pesatnya pertambahan pembangunan tentunya berdampak pada berkurangnya kantong air dari ekosistem lingkungan. Hal itulah yang menyebabkan banjir semakin rawan terjadi.
“Dulu saluran cukup untuk mengaliri air, sekarang mungkin karena juga pohon semakin berkurang kantong penyerapan air berkurang akhirnya kantong penyerapan berkurang sehingga menyebabkan air semakin banyak ditampung saluran. Tapi biasanya kalau genangan banjir sekitar 1 jam sudah surut. Sebenarnya bukan banjir tapi genangan air,” tuturnya.
“Untuk menghitung saluran dalam penanggan banjir pertama kita harus menghitung debit airnya. Ketika debit airnya, dapat kemudian kita olah datanya menjadi berapa sih lebar saluran yang diperlukan.
Jika saluran itu tidak dilebarkan, tidak menganggu jalan tidak apa-apa. Kasus di Sebengkok itu, kita melakukan pelebaran maka jalan akan jadi kecil, jadi opsinya kemarin itu bagaimana opsi jalannya tetap ada, tidak mengurangi lebar jalan. Jadi kami membuat boks gorong-gorong di bawah jalan,” lanjutnya.
“Untuk perawatan saluran, kami ada tim perawatan. Jadi untuk perawatan ada yang manual ada juga yang menggunakan alat berat. Tergantung dengan kondisi saluran. Kalau untuk Sebengkok, itu kalau alat berat kan tidak bisa, ki sebenarnya menerima surat
masukan masyarakat jika ada saluran yang akan dibersihkan, tidak bisa membuat surat ke kami. Selama ini, hampir tiap minggu kami menerima surat dari para lurah-lurah, untuk meminta tolong drainasenya dibersihkan. Nanti kami jadwalkan. Karena ada banyak antrean. Bersurat saja ke kami nanti kami atur jadwalnya kemudian tim kami ke sana,” pungkasnya. (zac/lim)