TARAKAN – Sebagai kota penghasil sektor perikanan dan hasil laut lainnya, kota Tarakan digadang-gadang akan menjadi kota terdepan di Kaltara dalam pengelolaan hasil laut. Hal itu dibuktikan dengan adanya keseriusan pemerintah kota mendokrak hasil laut, seperti rumput laut.
Saat ditemui di ruang kerjanya, Kepala Bidang Penguatan dan Pengembangan Perdagangan, Dinas Perdagangan, Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (Disdagkop dan UMKM) Kota Tarakan, Muhammad Romli mengungkapkan, pihaknya telah mengajukan persetujuan pemerintah kota dalam rencana pembangunan industri rumput laut untuk meningkatkan hasil sekaligus perekonomian petani rumput laut di Bumi Paguntaka.
“Kami dari SKPD kemarin sudah menyerahkan surat pengajuan ke pak Wali (Wli Kota, Red) untuk menindaklanjuti perencanaan membangun pabrik distribusi rumput laut. Karena Tarakan memiliki potensi besar untuk memaksimalkan sektor itu,” ungkapnya kemarin (22/6).
Dicanangkannya pembangunan tersebut, tidak terlepas dari hasil rumput laut Tarakan yang dinilai melimpah. Selain itu, tingginya kebutuhan rumput laut dunia, membuat peluang besar Kota Tarakan untuk meningkatkan penghasilan daerah.
“Tarakan memiliki potensi laut luar biasa, untuk yang bisa memproduksi 300 ton per bulan dengan nilai investasi nantinya diperkirakan mencapai Rp15 miliar sampai Rp 20 miliar. Nah inilah yang menjadi motivasi kita untuk benar-benar memaksimalkan hasil sektor ini,” terangnya.
Ia menjelaskan, keinginan tersebut tidak terlepas dari keprihatinan pemerintah terhadap hasil rumput laut yang dijual dengan harga murah. Sehingga, dengan adanya industri akan meningkatkan nilai jual rumput laut saat diekspor.
“Pabrik industri rumput laut ini juga untuk meningkatkan industri rumput laut, dengan adanya ini tentu petani rumput laut semakin termotivasi untuk menghasilkan panen yang lebih besar. Karena hasilnya dapat terjual dengan harga memuaskan,” jelasnya.
Sehingga, dengan adanya industri diharapkan mengembalikan kejayaan petani rumput laut. Sederhananya, untuk mengembangkannya sendiri agar hasil rumput laut tidak dijual murah ke negara lain.
Sementara itu, salah satu perwakilan dari Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli) Sasmoyo S. Boesari pernah mengatakan dalam sebuah seminar di tahun 2018, Tarakan dan Nunukan memiliki potensi yang luar biasa untuk memiliki pabrik. Walaupun ada beberapa tantangan yang harus diatasi untuk mendukung pengembangan industri pengolahan rumput laut. Tantangan tersebut ialah faktor warna hasil rumput laut yang lebih coklat dibandingkan hasil dari daerah lain, faktor impurity (kadar kotoran) dan kadar logam yang relatif lebih tinggi.
Ia menjelaskan Kabupaten Nunukan juga sangat serius melihat peluang ini, sehingga ia berharap Tarakan juga dapat mengambil langkah guna untuk mengejar pembangunan. Meski saat ini sudah terdapat pengusaha yang melakukan ekspor langsung, namun menurutnya produksi tersebut belum sesuai seperti yang diharapkan.
“Di Kabupaten Nunukan juga sudah memulai dan kita di sini harus segera mengejar juga. Dan saat ini kami sedang mengupayan pembangunan melalui kementerian perdagangan. Jadi pada saat kita ekspor nanti bukan hasil mentah lagi, tapi sudah menjadi komoditas yang memiliki nilai jual tinggi,” tuturnya.
Sementara itu, Kastang (27) salah seorang petani rumput menyambut baik rencana tersebut. Warga RT 01 Kelurahan Amal tersebut bersyukur jika pemerintah benar-benar memperhatikan nasib petani yang saat ini jumlahnya semakin berkurang.
“Alhamdulillah kalau memang betul kan. Karena selama ini hasil kami selalu dibeli murah sekali yang dulunya sempat sampai Rp 20 ribu per kilo sekarang hanya Rp 13 ribu saja. Karena jatuhnya harga dari beberapa tahun lalu makanya banyak petani menjual talinya. Terus terang saja, sejak jatuhnya rumput laut saya memulangkan 5 orang anak buah saya ke kampung karena sudah tidak sanggup menggaji anak buah,” bebernya. (*/zac/eza)