TARAKAN – Hingga saat ini masih banyak masyarakat yang mengeluhkan sistem perparkiran di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan dr. H. Jusuf SK. Kendati pengelola sudah memberikan toleransi bagi 1 orang keluarga penjaga pasien, namun hal tersebut belum sepenuhnya diterima.
Kepala Keasistenan Pencegahan Maladminisitrasi Ombudsman Kaltara, Baku Dwi Tanjung mengungkap sejauh ini pihaknya terus memantau perkembangan pelayanan RSUD khususnya layanan perparkiran. Dikatakan pihaknya telah merekomendasikan agar RSUD melakukan pergantian mitra jika dianggap menerapkan kebijakan sepihak.
“Sebelumnya kami sudah melakukan kunjungan ke RSUD Tarakan untuk menanyakan mekanisme parkir. Siapa yang kedudukannya lebih tinggi antara RSUD dan pihak ketiga, artinya dengan penegasan ini siapa yang mengintervensi siapa. Kalau RSUD, artinya rumah sakit memiliki kewenangan mengatur pihak ketiga dalam hal tertentu. Misalnya jika vendor tidak mau diatur, bisa saja RSUD tidak memperpanjang kerjasamanya atas dasar catatan-catatan merah. Misalnya melanggar perjanjian,” ujarnya, Senin (13/11).
“Mengapa dengan banyaknya keluhan masyarakat terkait parkir ini, tidak ada kekuatan direktur untuk mengintervensi si vendor. Misalnya meringankan biaya, misalnya dari kelipatannya. Karena rumah sakit ini berbeda dengan bandara atau pelabuhan. Memang di daerah lain juga ada, tapi dilihat lagi kondisi di daerah itu,” lanjutnya.
Ombudsman juga menemukan potensi masyarakat menanggung biaya parkir yang besar. “Misalnya orang mengantre berobat di rumah sakit tidak ada namanya 1 jam selesai. Itu bisa berjam-jam dan bahkan ada yang dari pagi mengantre namanya baru dipanggil sore dan ini terjadi bukan pada 1-2 orang. Beberapa mengaku datang pagi baru selesai sore. Bayangkan kalau dia parkir jam 8 pagi dan keluar jam 4 sore. Itu kelipatan bayarannya banyak sekali. Sedangkan mereka ke sana bukan untuk refresing tapi untuk berobat,” terangnya.
“Selain itu orang yang mengantar-jemput misalnya ojol (ojek online), itu juga akan bayar. Tidak mungkin dia mengantar penumpangnya yang sakit di luar itu kan jauh sekali. Atau orang mengantar keluarganya masa harus bayar parkir. Dari keterangan direktur sebelumnya mereka tidak bisa mengintervensi vendor ini, makanya kami menanyakan siapa yang kedudukannya lebih tinggi, RSUD atau pihak ketiga? Harusnya kan bisa,” lanjutnya.
Jika pihak RSUD serius memikirkan kepentingan masyarakat, RSUD dapat melakukan pergantian berdasarkan keluhan selama ini. Selain itu, tentunya sebelum kerja sama berjalan RSUD meninjau perihal bunyi perjanjian. Menurutnya dalam hal apa pun kepentingan masyarakat harus menjadi yang utama.
“Daripada kita menjadi objek sasaran keluhan masyarakat secara menerus. Kami memahami kondisinya tidak biasa, tapi kalau kita kembali lagi untuk kepentingan masyarakat kita harus menyampingkan kepentingan pribadi. Selain itu kami juga menyoroti kebijakan lepas tangan jika terjadi sesuatu pada kendaraan. Misalnya kehilangan motor atau helm. Mereka memasang pengumuman dengan bertuliskan segala bentuk kehilangan barang bukan tanggung jawab si pengelola parkir. Kalau kehilangan bukan tanggung jawab pengelola parkir, ngapain orang bayar parkir,” tuturnya.
“Seharusnya hal itu merupakan tanggung jawab pengelolaan sesuai Pasal 1365, 1366, dan 1367 KUHPerdata. Selain itu, dalam Putusan MA Nomor 3416/Pdt/1985, majelis hakim berpendapat bahwa perparkiran merupakan perjanjian penitipan barang. Oleh karena itu, hilangnya kendaraan milik konsumen menjadi tanggung jawab pengusaha parkir. Di sisi lain, secara pidana ketentuan mengenai hal tersebut terdapat dalam Pasal 406 KUHP lama yang masih berlaku dan Pasal 521 UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, yakni pada tahun 2026,” pungkasnya. (zac/lim)