27.7 C
Tarakan
Saturday, September 23, 2023

Caleg Bayar DP Rp 50-100 Ribu

TARAKAN – Politik uang semakin gencar dilakukan oknum calon legislatif (caleg) tertentu. Dilakukan secara terang-terangan, mendatangi rumah warga. Paling vulgar bicara nominal. Istilah ‘serangan fajar’ itu sudah tidak ada lagi. Praktik money politics di siang bolong.

Semakin dekat hari pencoblosan, beberapa warga mengaku didatangi sejumlah caleg. Ada pula melalui tim sukses tertentu.

Salah satu warga yang mendapat kunjungan tersebut ialah Mona (57) -bukan nama sebenarnya. Bermukim di salah satu rukun tetangga (RT) di Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Tarakan Barat. Minggu (7/4) pagi kemarin ia didatangi beberapa orang untuk menawarkan janji. Tidak tanggung-tanggung salah seorang dari tim tersebut masih aktif sebagai aparat di salah satu institusi.

“Masih ada, tadi pagi ada 3 orang datang meminta dukungan. Dia minta fotokopi KTP nanti dia ditukar sama uang Rp 150 ribu satu kepala. Tidak kenal orangnya, yang jelas dia sama tetangga saya yang petugas (aparat, Red),” ujarnya.

Mona sudah beberapa kali didatangi. Sebelum ini adapula caleg  yang datang dengan membawa rekan yang mengaku sebagai ulama. Dikatakan pemuka agama tersebut berperan sebagai mediator untuk memengaruhi warga. Setelah itu pemuka agama tersebut mengarahkan warga untuk caleg yang direkomendasikannya.

“Ada juga waktu itu datang tim caleg. Saya pikir orang yang berjenggot yang suka mengajak salat ke masjid. Tapi setelah ngomong-ngomong rupanya tim caleg. Dia kasih kartu nama dan minta bantu dukungan,” ucapnya.

Senada, Andi Odang (26), warga lain mengaku masih mendapat tawaran untuk memberikan dukungannya kepada salah satu caleg. “Ada barusan, diajak teman ke salah satu warung kopi. Pas di sana rupanya ada caleg dan yang dipanggil ternyata bukan saya sendiri, tapi ada banyak orang. Ngobrol-ngobrol habis itu minta bantu suara. Tapi dia bilang nanti ada uang rokoknya,” ujar Andi.

Tentu kejadian ini bukanlah yang pertama kalinya. Andi mengaku sebelumnya kerap menerima tawaran yang sama. Bahkan Andi mengaku aparat kelurahan terlibat dalam praktek tersebut. Sebagai warga yang memiliki kebutuhan, tentunya dirinya cukup senang mendapatkan sejumlah uang. Meski demikian, secara nurani ia mengaku belum dapat memastikan suaranya kepada caleg yang dimaksud.

“Kami pernah dikumpulkan RT mendengar sosialisasi caleg itu kira-kira ada 50 orang lebih. Dan kami mengumpulkan fotokopi KTP dan sebelum pulang kami dikasih amplop yang isinya masing-masing Rp 150 ribu. Katanya itu masih perkenalan saja nanti jelang pemilu masih ada lagi,” terangnya.

Feri di Pamusian mengungkap hal yang sama. “Orang terang-terangan. Semua tetangga di sini juga didatangi,” aku Feri.

Kejadian teranyar itu dialami Feri pada Sabtu (6/4). Sebelumnya dia sudah pernah didatangi beberapa kali. Entah calegnya langsung atau melalui tim sukses. “Ada yang DPR RI juga, melalui timnya, ngasih DP. Katanya ini DP, nanti kalau terpilih usai mencoblos dikasih lagi,” terang Feri.

Baca Juga :  Ratusan Warga dan Personel TNI Rapid Test

Hal itu juga dialami mertua Feri. Seorang caleg DPRD Tarakan datang melakukan pendataan, lantas meminta fotokopi KTP. “Kalau yang provinsi itu ada yang langsung mau kasih, ada pula yang masih janji. Yang Kota (DPRD Tarakan), masih mendata. Katanya nanti ada dikasih,” ujarnya.

Feri tak ingin menggadaikan hak pilihnya. Caleg atau timses yang mendatangi rumahnya, dia tolak dengan halus. “Saya belum mau yang begitu. Istilahnya kami, saya bersama keluarga masih pengin caleg yang jujur. Yang memang programnya bagus. Sebenarnya kalau mau terpilih itu, enggak perlu datang dengan uang seperti itu. Orang bisa menilai kok, mana caleg yang bagus. Mana yang belum layak,” tukasnya.

 

Gerak caleg memengaruhi calon pemilih dengan menjanjikan uang, memberi uang atau barang tertentu sudah mulai masif sejak beberapa waktu lalu. Radar Tarakan pada akhir Maret lalu juga menurunkan tim liputan menelisik lebih jauh praktek kurang elok itu.

Seperti yang dialami Mirnawati (62), warga Kelurahan Karang Anyar, Tarakan Barat telah didatangi 6 caleg baik kota, provinsi maupun pusat. Selain menjelaskan visi dan misi, tujuan oknum caleg tersebut tidak lain menawarkan sejumlah uang untuk hak pilih Mirnawati.

“Sudah banyak caleg ke sini, ada yang bawa calegnya, ketua RT yang bawa. Dia menjelaskan visi dan misinya dan menawarkan uang. Ada yang Rp 200 ribu ada yang Rp 300 ribu. Tapi sebagai jaminan minta fotokopi KTP, alasannya untuk didata,” ungkapnya kepada Radar Tarakan, Minggu 24 Maret lalu.

Andika (27) Kelurahan Lingkas Ujung, Kecamatan Tarakan Tengah juga mengungkap hal yang sama. Bahkan menjelang hari pencoblosan, tidak tangung-tanggung dirinya didatangi 15 orang yang mengaku sebagai caleg, baik kota, provinsi maupun pusat.

“Iya sering datang. Ada yang teman lama, ada juga yang tidak kenal sama sekali. Biasa datang memperkenalkan diri terus menjelaskan visi dan misinya. Setelah itu menawarkan uang untuk minta dipilih. Ada juga yang to the point, ada juga yang malu-malu, pakai basa-basi yang panjang,” terangnya.

Bahkan, ia mengaku pernah dikumpulkan ketua RT untuk mendengarkan paparan visi-misi caleg di suatu tempat. Ia menerangkan selain menyampaikan komitmen akan menunaikan janjinya setelah terpilih, oknum caleg tersebut memberikan sejumlah uang kepada warga setelah pertemuan tersebut. Ia menerangkan, sebagai warga yang memiliki kebutuhan. Tentunya dirinya cukup senang mendapatkan sejumlah uang sebesar Rp 250 ribu. Meski demikian, secara nurani ia mengaku belum  dapat memastikan suaranya kepada caleg tersebut.

Baca Juga :  RSUD Dilaporkan ke Polisi

“Kami pernah dikumpulkan RT mendengar sosialisasi caleg itu kira-kira ada 50 orang lebih. Dan kami mengumpulkan fotokopi KTP dan sebelum pulang kami dikasih amplop yang isinya Rp 250 ribu. Katanya itu masih perkenalan saja, nanti jelang pemilu masih ada lagi,” terangnya.

Terpisah, Jarot bukan nama sebenarnya, salah satu ketua RT di Kelurahan Karang Anyar menerangkan, dirinya kerap didatangi oknum caleg yang menawarkan jasanya untuk mengumpulkan warga mendengarkan sosialisasi. Bahkan selama tahun 2019 setiap bulan sedikitnya 7 caleg mendatangi kediamannya.

“Sudah banyak caleg yang datang ke sini, kalau ditotal mungkin 30-an lebih. Tapi sejak 2019 ini setiap bulan minimal ada 7 caleg yang datang dengan penawaran yang sama. Tergantung komisinya berani bayar berapa. Kalau berani bayar minimal Rp 5 juta saya berani kumpulkan warga. Itu di luar jatah fotokopi warga loh yah. Rp 5 juta itu hanya untuk mengumpulkan warga,” bebernya.

AD (43) salah satu timses caleg yang menggunakan strategi money politics mengakui perbuatan tersebut tidak dibenarkan. Hanya, money politics masih menjadi senjata paling ampuh untuk meraup suara dari masyarakat. Selain itu, ia tak memungkiri jika money politics telah warisan di setiap pesta demokrasi.

“Sekarang begini, percuma KPU mati-matian melarang money politics menjelang pemilu kalau mental di masyarakat tidak dibenahi. Bagaimana setiap caleg tidak pakai uang kalau pertanyaan pertama dari warga mau kasih uang berapa. Itu kan sudah jadi budaya dan ditambah lagi sebagian warga sudah kebiasaan. Akhirnya tidak mau memilih siapa-siapa kalau tidak ada uangnya. Mau tidak mau politikus menggunakan uang untuk menyelamatkan suara yang terancam hilang,” bebernya.

Salah satu caleg yang enggan namanya dikorankan, menganggap untuk menarik minat masyarakat untuk memilih tidak bisa hanya bermodalkan visi dan misi saja. “Kalau modal visi dan misi saja mana bisa, kita juga harus mengeluarkan modal mulai dari sosialisasi, alat peraga dan modal lainnya,” tuturnya.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Tarakan Sulaiman mengungkapkan, pihaknya sedikit mengalami kendala dalam menindaklanjuti politik uang, sebab setiap masyarakat yang menerima politik uang tidak memberikan laporan secara langsung kepada Bawaslu. “Untuk memenuhi persyaratan objek unsur itu kami agak kesulitan, misalkan calon memberikan bantuan. Tapi saat penyerahan calon tidak pernah menginstruksikan bahwa uang tersebut diberikan kepada si A, cuma sampai ke organ tertentu saja. Organ dengan penerima itu beda, kalau organ tidak masuk dalam kategori subjek yang harus menerima uang. Sementara yang menerima uang itu baru dikatakan objek di dalam tindakan politik uang,” imbuhnya. (*/zac/lim)

 

TARAKAN – Politik uang semakin gencar dilakukan oknum calon legislatif (caleg) tertentu. Dilakukan secara terang-terangan, mendatangi rumah warga. Paling vulgar bicara nominal. Istilah ‘serangan fajar’ itu sudah tidak ada lagi. Praktik money politics di siang bolong.

Semakin dekat hari pencoblosan, beberapa warga mengaku didatangi sejumlah caleg. Ada pula melalui tim sukses tertentu.

Salah satu warga yang mendapat kunjungan tersebut ialah Mona (57) -bukan nama sebenarnya. Bermukim di salah satu rukun tetangga (RT) di Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Tarakan Barat. Minggu (7/4) pagi kemarin ia didatangi beberapa orang untuk menawarkan janji. Tidak tanggung-tanggung salah seorang dari tim tersebut masih aktif sebagai aparat di salah satu institusi.

“Masih ada, tadi pagi ada 3 orang datang meminta dukungan. Dia minta fotokopi KTP nanti dia ditukar sama uang Rp 150 ribu satu kepala. Tidak kenal orangnya, yang jelas dia sama tetangga saya yang petugas (aparat, Red),” ujarnya.

Mona sudah beberapa kali didatangi. Sebelum ini adapula caleg  yang datang dengan membawa rekan yang mengaku sebagai ulama. Dikatakan pemuka agama tersebut berperan sebagai mediator untuk memengaruhi warga. Setelah itu pemuka agama tersebut mengarahkan warga untuk caleg yang direkomendasikannya.

“Ada juga waktu itu datang tim caleg. Saya pikir orang yang berjenggot yang suka mengajak salat ke masjid. Tapi setelah ngomong-ngomong rupanya tim caleg. Dia kasih kartu nama dan minta bantu dukungan,” ucapnya.

Senada, Andi Odang (26), warga lain mengaku masih mendapat tawaran untuk memberikan dukungannya kepada salah satu caleg. “Ada barusan, diajak teman ke salah satu warung kopi. Pas di sana rupanya ada caleg dan yang dipanggil ternyata bukan saya sendiri, tapi ada banyak orang. Ngobrol-ngobrol habis itu minta bantu suara. Tapi dia bilang nanti ada uang rokoknya,” ujar Andi.

Tentu kejadian ini bukanlah yang pertama kalinya. Andi mengaku sebelumnya kerap menerima tawaran yang sama. Bahkan Andi mengaku aparat kelurahan terlibat dalam praktek tersebut. Sebagai warga yang memiliki kebutuhan, tentunya dirinya cukup senang mendapatkan sejumlah uang. Meski demikian, secara nurani ia mengaku belum dapat memastikan suaranya kepada caleg yang dimaksud.

“Kami pernah dikumpulkan RT mendengar sosialisasi caleg itu kira-kira ada 50 orang lebih. Dan kami mengumpulkan fotokopi KTP dan sebelum pulang kami dikasih amplop yang isinya masing-masing Rp 150 ribu. Katanya itu masih perkenalan saja nanti jelang pemilu masih ada lagi,” terangnya.

Feri di Pamusian mengungkap hal yang sama. “Orang terang-terangan. Semua tetangga di sini juga didatangi,” aku Feri.

Kejadian teranyar itu dialami Feri pada Sabtu (6/4). Sebelumnya dia sudah pernah didatangi beberapa kali. Entah calegnya langsung atau melalui tim sukses. “Ada yang DPR RI juga, melalui timnya, ngasih DP. Katanya ini DP, nanti kalau terpilih usai mencoblos dikasih lagi,” terang Feri.

Baca Juga :  Ganja Tanpa Pemilik yang Digagalkan BNNP Kaltara Dimusnahkan

Hal itu juga dialami mertua Feri. Seorang caleg DPRD Tarakan datang melakukan pendataan, lantas meminta fotokopi KTP. “Kalau yang provinsi itu ada yang langsung mau kasih, ada pula yang masih janji. Yang Kota (DPRD Tarakan), masih mendata. Katanya nanti ada dikasih,” ujarnya.

Feri tak ingin menggadaikan hak pilihnya. Caleg atau timses yang mendatangi rumahnya, dia tolak dengan halus. “Saya belum mau yang begitu. Istilahnya kami, saya bersama keluarga masih pengin caleg yang jujur. Yang memang programnya bagus. Sebenarnya kalau mau terpilih itu, enggak perlu datang dengan uang seperti itu. Orang bisa menilai kok, mana caleg yang bagus. Mana yang belum layak,” tukasnya.

 

Gerak caleg memengaruhi calon pemilih dengan menjanjikan uang, memberi uang atau barang tertentu sudah mulai masif sejak beberapa waktu lalu. Radar Tarakan pada akhir Maret lalu juga menurunkan tim liputan menelisik lebih jauh praktek kurang elok itu.

Seperti yang dialami Mirnawati (62), warga Kelurahan Karang Anyar, Tarakan Barat telah didatangi 6 caleg baik kota, provinsi maupun pusat. Selain menjelaskan visi dan misi, tujuan oknum caleg tersebut tidak lain menawarkan sejumlah uang untuk hak pilih Mirnawati.

“Sudah banyak caleg ke sini, ada yang bawa calegnya, ketua RT yang bawa. Dia menjelaskan visi dan misinya dan menawarkan uang. Ada yang Rp 200 ribu ada yang Rp 300 ribu. Tapi sebagai jaminan minta fotokopi KTP, alasannya untuk didata,” ungkapnya kepada Radar Tarakan, Minggu 24 Maret lalu.

Andika (27) Kelurahan Lingkas Ujung, Kecamatan Tarakan Tengah juga mengungkap hal yang sama. Bahkan menjelang hari pencoblosan, tidak tangung-tanggung dirinya didatangi 15 orang yang mengaku sebagai caleg, baik kota, provinsi maupun pusat.

“Iya sering datang. Ada yang teman lama, ada juga yang tidak kenal sama sekali. Biasa datang memperkenalkan diri terus menjelaskan visi dan misinya. Setelah itu menawarkan uang untuk minta dipilih. Ada juga yang to the point, ada juga yang malu-malu, pakai basa-basi yang panjang,” terangnya.

Bahkan, ia mengaku pernah dikumpulkan ketua RT untuk mendengarkan paparan visi-misi caleg di suatu tempat. Ia menerangkan selain menyampaikan komitmen akan menunaikan janjinya setelah terpilih, oknum caleg tersebut memberikan sejumlah uang kepada warga setelah pertemuan tersebut. Ia menerangkan, sebagai warga yang memiliki kebutuhan. Tentunya dirinya cukup senang mendapatkan sejumlah uang sebesar Rp 250 ribu. Meski demikian, secara nurani ia mengaku belum  dapat memastikan suaranya kepada caleg tersebut.

Baca Juga :  Penambahan Jaringan Sasar Seluruh Kota

“Kami pernah dikumpulkan RT mendengar sosialisasi caleg itu kira-kira ada 50 orang lebih. Dan kami mengumpulkan fotokopi KTP dan sebelum pulang kami dikasih amplop yang isinya Rp 250 ribu. Katanya itu masih perkenalan saja, nanti jelang pemilu masih ada lagi,” terangnya.

Terpisah, Jarot bukan nama sebenarnya, salah satu ketua RT di Kelurahan Karang Anyar menerangkan, dirinya kerap didatangi oknum caleg yang menawarkan jasanya untuk mengumpulkan warga mendengarkan sosialisasi. Bahkan selama tahun 2019 setiap bulan sedikitnya 7 caleg mendatangi kediamannya.

“Sudah banyak caleg yang datang ke sini, kalau ditotal mungkin 30-an lebih. Tapi sejak 2019 ini setiap bulan minimal ada 7 caleg yang datang dengan penawaran yang sama. Tergantung komisinya berani bayar berapa. Kalau berani bayar minimal Rp 5 juta saya berani kumpulkan warga. Itu di luar jatah fotokopi warga loh yah. Rp 5 juta itu hanya untuk mengumpulkan warga,” bebernya.

AD (43) salah satu timses caleg yang menggunakan strategi money politics mengakui perbuatan tersebut tidak dibenarkan. Hanya, money politics masih menjadi senjata paling ampuh untuk meraup suara dari masyarakat. Selain itu, ia tak memungkiri jika money politics telah warisan di setiap pesta demokrasi.

“Sekarang begini, percuma KPU mati-matian melarang money politics menjelang pemilu kalau mental di masyarakat tidak dibenahi. Bagaimana setiap caleg tidak pakai uang kalau pertanyaan pertama dari warga mau kasih uang berapa. Itu kan sudah jadi budaya dan ditambah lagi sebagian warga sudah kebiasaan. Akhirnya tidak mau memilih siapa-siapa kalau tidak ada uangnya. Mau tidak mau politikus menggunakan uang untuk menyelamatkan suara yang terancam hilang,” bebernya.

Salah satu caleg yang enggan namanya dikorankan, menganggap untuk menarik minat masyarakat untuk memilih tidak bisa hanya bermodalkan visi dan misi saja. “Kalau modal visi dan misi saja mana bisa, kita juga harus mengeluarkan modal mulai dari sosialisasi, alat peraga dan modal lainnya,” tuturnya.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Tarakan Sulaiman mengungkapkan, pihaknya sedikit mengalami kendala dalam menindaklanjuti politik uang, sebab setiap masyarakat yang menerima politik uang tidak memberikan laporan secara langsung kepada Bawaslu. “Untuk memenuhi persyaratan objek unsur itu kami agak kesulitan, misalkan calon memberikan bantuan. Tapi saat penyerahan calon tidak pernah menginstruksikan bahwa uang tersebut diberikan kepada si A, cuma sampai ke organ tertentu saja. Organ dengan penerima itu beda, kalau organ tidak masuk dalam kategori subjek yang harus menerima uang. Sementara yang menerima uang itu baru dikatakan objek di dalam tindakan politik uang,” imbuhnya. (*/zac/lim)

 

Terpopuler

Artikel Terbaru