TANJUNG SELOR – Terkait minimnya anggaran pelaksanaan Birau di tahun ini yang terlaksana tak secara meriah. Ketua Adat Tidung di Kabupaten Bulungan, Muhammad Yunus Idris mengaku hal itu bukanlah suatu masalah.
Sebab, menurutnya di Birau ini sebaiknya dijadikan sebagai momen bagi generasi agar tak melupakan suatu sejarah. Atau istilahnya Jas Merah (jangan melupakan sejarah) seperti diutarakan Presiden RI Soekarno. “Tak masalah jika memang tak meriah. Yang terpenting bagaimana dalam diri atau jiwanya,” ungkapnya.
Sebenarnya soal meriah ataupun tidaknya. Hal itu hanya relatif. Dan yang terpenting yakni dalam peringatan hari jadi ini bagaimana budaya dapat terus terjaga hingga ke generasi-generasi selanjutnya. “Soal meriah itu relatif saja. Tapi, di sisi lain bagaimana di momen ini juga berimbas pada perekonomian semakin maju ke depannya,” ujarnya.
“Termasuk dalam menjadikan di tahun politik ini tetap aman dan damai bagi daerah ini. Sehingga tidak terjadi suatu permasalahan yang membuat NKRI runtuh,” sambungnya.
Disinggung terkait dari sisi pembangunan di daerah. Pihaknya mengakui bahwa saat ini semakin maju dan berkembang. Tidak, seperti zamannya dahulu yang masih dalam lingkaran kesulitan. Bahkan, untuk beli baju saja susah. “Tapi, sejak zaman orde baru sampai sekarang sudah semakin baik dan menunjukkan peningkatan,” katanya.
Senada dikatakan Ketua Adat Dayak di Kabupaten Bulungan Apuy Laing, sekalipun pelaksanaan Birau ini tak semeriah seperti sebelumnya. Hanya, bagaimana dapat memaknai inti dari Birau itu sendiri. “Melalui Birau ini bagaimana kita dapat kembali menyatukan suku-suku yang ada di Bulungan,” ungkapnya.
Lanjutnya, pihaknya tentu mendukung sepenuhnya dalam gelaran Birau ini. Meski, secara fakta dapat terlihat adanya suatu perbedaan. Dan itu tentu karena adanya permasalahan. “Tapi, kalau soal anggaran mungkin ini secara nasional. Jadi, kita memakluminya saja,” ujarnya.
Mengenai saran, tambahnya, pelaksanaan Birau ini dapat disesuaikan dengan dana yang tersedia. Sehingga tidak menjadi beban berlebih pasca pelaksanannya nanti. “Jika memang tak dapat meriah setidaknya inti dari acara peringatan Birau itu dapat diutamakan,” katanya.
Dan terkait masih banyaknya masyarakat yang tak mengetahui makna Birau. Pihaknya meminta kepada pemerintah daerah dapat membuat semacam peraturan daerah agar masyarakat dapat lebih mengetahui daerah itu sendiri. “Memang sih kondisi saat ini banyak yang tak tahu,” jelasnya.
Sementara itu, pandanganakademisi di Universitas Kaltara yang diutarakan Dedik Wiryawan mengenai minimnya anggaran dalam pelaksanaan Birau. Menurutnya, hal itu bukan merupakan suatu permasalahan yang besar hingga tak didapati sebuah solusi.
Dedik sapaan akrabnya menjelaskan, pemerintah daerah memiliki segudang cara agar pelaksanaan Birau di tahun ini dapat berlangsung secara meriah seperti selang dua tahun sebelumnya. “Solusi itu pastinya ada, apalagi untuk acara yang sangat sakral tersebut,” ungkapnya kepada Radar Kaltara saat ditemui kemarin (10/10).
Lanjutnya, jika dari padangannya sendiri yang juga selaku pengamat ekonomi. Defisitnya anggaran Birau sebenarnya dapat disiasati dengan menggandeng Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Pasalnya, di daerah tentu ada dan dapat dijadikan sponsor dalam kegiatan itu. “BUMN dan BUMD diajak duduk bersama dan rembuk dalam membantu mensponsori,” ujarnya.
Atau, lebih jauh dikatakan, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah dapat mengambil peran dalam menyukseskan kegiatan Birau. Apalagi, Birau ini merupakan suatu marwah bagi daerah. Oleh karenanya, penting adanya dukungan berbagai pihak guna menciptakan itu semua.
“Perusahaan kita tahu ada program CSR (Corporate Social Responsibility). Nah, dari situ dapat dijadikan sedikit bantuan dalam pelaksanannya,” katanya.
Ditambahkannya juga, cara jitu lainnya dalam menghadapi defisitnya anggaran Birau. Ada baiknya Pemkab Bulungan dapat menggandeng Pemprov Kaltara. Mengingat, kedudukan Pemprov Kaltara juga satu wadah di Pemkab Bulungan. “OPD (organisasi perangkat daerah) terkait mungkin bisa saling mengomunikasikan. Tapi, itu seharusnya jauh-jauh hari. Tidak seperti saat ini yang pelaksanaannya sudah menghitung jam,” tuturnya.
“Atau bilamana memang dana tak ada, ada baiknya acara inti digelar dan acara hiburannya menyusul,” jelasnya.
Bulungan Tidak Terlepas dari Kesultanan
Keberadaan Kabupaten Bulungan dan Kota Tanjung Selor serta Kalimantan Utara (Kaltara) secara umum tidak terlepas dari sejarah Kesultanan Bulungan.
Menurut Kepala Adat Bulungan, Datu Buyung Perkasa, sejarah terbentuknya Kabupaten Bulungan dan Tanjung Selor justru sebagai bukti bahwa Kesultanan Bulungan tempo dulu benar adanya. Dijelaskan Datu Buyung, setelah kesultanan bergabung dengan NKRI, walaupun itu tidak didasari pernyataan resmi, maka muncul Undang-Undang (UU) darurat nomor 53 tahun 1950.
Pasca itu, sistem kerajaan dialihkan ke swapraja (keberadaan kerajaan secara administrasi diakui kolonial). Kerajaan Bulungan lanjut Datu Buyung, Bulungan menjadi daerah istimewa dengan roda pemerintahan tetap di Kecamatan Tanjung Palas. “Saat itu pemegang puncak pemerintahan adalah Sultan Maulana,” papar Datu Buyung.
Kerajaan sesuai cerita dia, telah menaikkan bendera merah putih pada tahun 1947 atau dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945. “Pada tahun 1959 beliau (Sultan Maulana) wafat. Tahun 1960 pusat pemerintahan dialihkan ke Tanjung Selor dipimpin Andi Tjatjok,” papar dia.
Dengan dilantiknya Andi Tjatjok pada Desember 1960, maka Bulungan berubah nama menjadi Dati II Bulungan. “Waktu itu yang dilantik Bupati Kukar (Kutai Kartanegera), Berau dan Bulungan,” jelas dia. “Tanpa Kesultanan Bulungan tidak ada Kabupaten Bulungan,” sambungnya lagi.
Sebagai ketua adat, Datu Buyung berharap Birau tetap dipertahankan sebagai upaya melestarikan adat istiadat. Diakuinya masih banyak item adat istiadat Bulungan yang belum bisa dikembangkan lagi lantaran terkendala anggaran. Misalnya proses pernikahan, kelahiran bayi serta pengangkatan sultan. “Kalau dulu ngangkat Sultan bunyikan mariam 7 kali sebagai informasi ke masyarakat bahwa ada kegiatan besar,” urainya.
Isu jika ritual adat sebagai rangkaian dari pelaksanaan HUT Bulungan dan Tanjung Selor sebaiknya tidak dilaksanakan karena syirik, Datu Buyung meminta bersikap objektif. “Tergantung pada manusianya,” cetus dia. Sementara terkait rencana kedatangan raja-raja Nusantara dan Asia, ia memastikan tetap terealisasi.
Ia mengaku Pemkab Bulungan telah memaksimalkan upaya dengan mengalokasikan anggaran Rp 200 juta untuk kegiatan dalam Birau itu. “Berapa banyaknya raja Nusantara dan Asia datang belum tahu. Tapi diupayakan itu. Malaysia Filipina dan Brunai menyatakan siap datang,” jelasnya. (omg/isl/eza)
Minim Anggaran, Bukan Masalah